Tidak mudah bagi agen musuh untuk masuk tubuh. Terlebih
dahulu, dia harus menerobos atau menyusup pada ring-ring keamanan yang sudah
disiapkan. Namun, adakalanya saat-saat para penjaga ini lengah, kurang
antisipasi, dan sebagainya. Misalnya, saat paparan agen musuh yang sangat
banyak dan dalam waktu yang sangat lama. Atau, bisa juga keadaan luar biasa
yang terjadi di dalam tubuh itu sendiri, misalnya seperti terjadi truma fisik
berupa luka.
Ketika terjadi luka, sel yang terluka–ataupun sel yang
terinfeksi oleh patogen–tidak tinggal diam. Sel yang terinfeksi ini
mengeluarkan suatu bahan kimiawi yang disebut histamin. Zat kimia ini seperti “teriakan”
minta tolong, yang kemudian memberikan sinyal kepada pembuluh darah agar segera
membuka diri. Biarkan pasukan patroli yang bertugas untuk masuk dan melihat
kejadian! Segera saja setelah “teriakan” ini–dua hingga tiga jam sejak
terjadinya luka–fagosit sudah berhasil menerobos pembuluh darah dan berada di
lokasi kejadian.
Begitu histamin dirilis oleh sel yang terluka, pembuluh
darah membuka diri bagi fagosit sehingga terjadi pertempuran dengan agen musuh.
Pertempuran ini biasanya memunculkan kemerahan dan bengkak di bagian luka. Ini sekaligus
pertanda terjadinya reaksi radang.
Begitu fagosit berhasil memasuki lokasi kejadian, ia
segera mengambil tindakan terhadap agen musuh. Golongan neutrofil menelan
agen-agen musuh dan golongan makrofag merobek-robeknya hingga menjadi
potongan-potongan kecil. Sementara mereka bertindak, rombongan fagosit yang
lain terus datang berbondong-bondong membantu teman-teman yang selainnya untuk
bertempur melawan agen musuh di medan
pertarungan. Di antara yang bertarung ini mungkin sudah ada yang gugur.
Ketika musuh tidak bisa dilumpuhkan oleh hanya dengan
barisan fagosit dan harus melibatkan barisan yang lainnya, maka beberapa
fagosit, yaitu makrofag, kembali ke barisan belakang atau kembali ke markas
besar dengan membawa pesan. Robekan tubuh musuh yang ia dapatkan, ia
kibar-kibarkan. Seperti suatu sirine bala bantuan, sambil berlari menuju pos
penjagaan terdekat. Di pos penjagaan ini, barisan limfosit-T maupun limfosit-B
mempelajari robekan tubuh agen musuh untuk mengenali karakteristik musuh yang
dihadapi.
Limfosit yang diperkenankan pertama kali membaca ID Card
musuh adalah limfosit-T helper. Sekalipun tidak diandalkan dari segi keahlian
membunuh, limfosit-T helper punya kemampuan reseptor hebat dalam membaca
antigen musuh. Sekalipun di alam ini terdapat ratusan juta antigen, umumnya
limfosit-T dapat mengenali antigen dengan ragam yang sedemikian besar itu tanpa
sedikitpun terkecoh. Suatu kecerdasan yang memang luar biasa dari pasukan
sistem imun tubuh.
Setelah tahu apa yang dibutuhkan berdasarkan ID Card ini. Limfosit-T
helper langsung mengambil alih komando untuk memerintahkan barisan barisan
berikutnya, yaitu limfosit-T killer dan limfosit-B agar segera melakukan
replikasi (memperbanyak diri). Selanjutnya, limfosit-T killer, termasuk
makrofag, terjun ke medan perang secara besar-besaran.
Limfosit-T killer memicu proses kimia yang menyebabkan
dinding sel bakteri bocor. Pada virus yang beraksi di dalam sel tubuh, sel-T
killer juga menghadapinya dengan menempelkan diri pada sel yang terinfeksi,
lalu menembakkan bola-bola beracun ke dalam tubuh sel yang sakit ini. Akhirnya,
sel tubuh yang terinfeksi virus menjadi mati, dan secara otomatis, virus yang
menginfeksi juga ikut mati.
Limfosit-B di limpa dan getah bening pun beraksi dengan
bekal senjata yang dimiliki, yaitu antibodi. Antibodi ini ditembakkan. Ketika antibodi
mengenai sasaran, yaitu antigen musuh, musuh pun lumpuh. Antibodi memiliki
lengan yang akan memagut antigen musuh. Dengan cara sepertin ini, proses
pelumpuhan musuh pun dilakukan oleh limfosit-B. Di antara antigen, ada yang
merupakan racun yang dikeluarkan oleh tubuh agen musuh. Pada kasus ini antibodi
menawarkan atau menetralisasi racun yang ada, sehingga sel-sel tubuh menjadi
aman. Pelumpuhan musuh oleh limfosit-B dapat pula dengan cara tidak langsung,
yaitu dengan menjadi perantara. Dalam hal ini pagutan antibodi yang dilakukan
limfosit-B kepada agen musuh akan membantu fagosit menelan agen musuh. Kerja sama
seperti ini pernting dalam melawan bakteri-bakteri yang resistan. Pelumpuhan terhadap musuh juga dilakukan dengan upaya
peledakan. Dalam upaya ini, tubuh memproduksi suatu senyawa yang disebut
komplemen. Persenjataan berupa komplemen ini biasa digunakan untuk mengatasi
agen musuh yang resisten. Bakteri dengan selubung lendir menyulitkan fagosit
golongan makrofag untuk merobek-robeknya, nah, komplemen ini hadir sebagai
solusi.
Dengan turunnya limfosit-B ke medan laga, tinggal satu
barisan pasukan imun yang belum beraksi: limfosit-T supresor. Limfosit-T
supresor ini berperan sebagai regu peredam. Ketika pertempuran sudah hampir
usai dan dimenangi oleh pasukan imun tubuh, limfosit-T supresor mengambil alih
kendali instruksi lapangan, emmerintah kepada limfosit-T killer dan limfosit-B
untuk mengakhiri pertempuran. Demikian pula kepada limfosit-T helper untuk
menghentikan “teriakan-teriakan” mobilisasi pasukan.
Di tengah keadaan yang mulai tenang itu, puing-puing sisa
pertempuran berserakan. Saat inilah pasukan patroli fagosit mulai sibuk. Mereka
memperbaiki jaringan yang rusak. Inilah masa pembangunan menyongsong masa
damai. Sehat walafiat bagi tubuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar