Gumpalan kertas mendarat mulus di kepala Randy.
Kemudian jatuh di dekat kakinya. Ia menengadah, mencari siapa yang membuang
kertas sembarangan hingga mengenai kepalanya. Bocah lelaki itu melihat seorang
gadis berambut panjang yang sedang berbalik lalu pergi begitu saja. Matanya
kembali tertuju pada gumpalan kertas di depan kakinya. Kemudian ia meraih dan
mengamati benda tersebut. “Mengapa tidak
membuangnya di tempat sampah saja? Apa ada sesuatu di dalamnya?” Dengan
rasa penasaran, ia membuka gumpalan kertas itu. Belum sempat ia membaca tulisan
di dalamnya, sang kakak sudah memanggilnya. Segera ia lipat kertas lusuh itu
dan memasukkannya ke dalam saku celananya.
Ia sudah berada di kamarnya sejak 30 menit
yang lalu. Enggan mengganti seragamnya. Sudah terlanjur nyaman dengan posisi
tidurnya seraya menyumbat telinganya dengan earphone, hingga teriakan kakaknya
pun tak dihiraukan. “Randy kau harus
makan. Jika kau sakit, aku yang dimarahi ibu.” Seminggu yang lalu, ibunya
pergi ke Bandung karena ada urusan pekerjaan. Randy tak bisa meninggalkan
sekolahnya, begitu pula dengan kakaknya. Jadi ibunya, meninggalkan 2 orang
anaknya itu dan membiarkan mereka hidup mandiri selama sebulan kedepan. “Ya! Randy! Cepat buka pintunya!” Teriakan
kakaknya itu terlalu keras, hingga membuat Randy terlonjak dari tempat
tidurnya. Dengan malas, ia berjalan ke arah pintu dan memutar kuncinya. Ketika
pintu terbuka, Randy terkekeh melihat raut wajah kakaknya yang kesal. Rara
mendengus kesal lalu menyodorkan sejumlah uang pada Randy. “Kalau kau tak mau makan masakanku, ini belilah makanan.” Seketika
itu, Randy menyadari wajah pucat kakaknya. “Kak,
apa kau sakit?” Randy menyentuh kening Rara, memastikan apa benar kakaknya
itu sakit. Tapi Rara menepis tangan Randy. “Sudahlah,
cepat ganti bajumu,” ujar sang kakak yang kemudian berbalik dan pergi.
Kakak dan adik itu kini telah berada di
meja makan dan menyantap makanan mereka masing-masing. “Oh ya, tadi aku menemukan ini di saku celanamu.” Rara menyodorkan
sebuah kertas lusuh. Randy segera meraihnya, memasukkannya ke dalam saku kemeja
dan kembali fokus pada makanannya. Setelah menyelesaikan makan malamnya, Randy
kembali masuk kamarnya. Ia merebahkan dirinya di kasur empuk miliknya. “Ah iya, kertas lusuh itu.” Randy
segera bangkit dari posisi tidurnya. Ia merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan
kertas lusuh itu. “Sebenarnya apa
isinya?” Untuk yang kedua kalinya, dengan rasa penasaran, ia membuka
lipatan kertas lusuh itu.
Dear Diary...
Aku menyukainya...
Sangat.. Bahkan aku tak tahu batasannya..
Tiap kali melihatnya bersama gadis itu
hatiku sakit..
Kenapa ia hanya mau berdekatan dengannya??
Kenapa ia membatasi pertemanan kami??
“Diary?!”
Randy terkekeh. “Kekanakan. Siapa orang
yang menulis hal konyol ini pada selembar kertas? Jika hanya untuk dibuang,
bukankah lebih baik dipendam saja. Bodoh,” gumam Randy. Kemudian Randy
menaruh kertas itu di meja belajarnya. Membaringkan tubuhnya di tempat tidur
dan tenggelam ke dalam alam mimpinya.
Hari berganti, sang surya membangunkan
Randy dengan sinar hangatnya. Saat mata Randy terbuka sepenuhnya, ia terkejut
melihat Rara yang kini sedang berbaring di sampingnya . Dengan hati-hati ia
beranjak dari kasur sempitnya dan berjalan mengambil handuk dan berakhir di
kamar mandi. Usai mandi ia pergi ke dapur untuk memasak. Ia tak tega
membangunkan Rara yang ternyata benar-benar sakit. Setelah masakan buatannya
telah siap, ia membawanya ke kamar. Membangunkan Rara pelan dan menyuapi Rara
meski Rara menolaknya. “Wah, ternyata adikku
yang satu ini pintar memasa,.” kata Rara seraya mengacak-acak rambut Randy.
Sedangkan Randy hanya menanggapinya dengan tertawa kecil. “Kak, apa kau punya teman yang sedikit aneh?” tanya Randy seraya
menyuapkan makanan ke mulut kakaknya. “Teman?
Kupikir semuanya aneh. Mereka lebih suka belajar. Bahkan saat jam istirahat pun
mereka masih berkutat dengan buku disela-sela makannya. Benar-benar tidak
menikmati hidup,” terang Rara panjang lebar. Jelas saja semua teman sekelas
Rara seperti itu. Kelas Rara adalah kelas unggulan. “Memangnya ada apa?” tanya Rara curiga. ‘Kira-kira siapa ya pemilik kertas lusuh itu?’ Batin Randy. “Hey mengapa kau melamun?” Rara
mengibaskan tangannya di depan wajah Randy. Randy pun tersadar dari lamunannya
dan kembali menyuapi kakaknya.
***
Sudah seminggu ini Randy melewati jalanan
yang sama. Dan seminggu itu pula ia terlempar kertas diary entah milik siapa. Beberapa kali ia mengendap mencari tahu
siapa yang melakukan hal ini padanya. Tapi tak pernah ia temukan.
Dear Diary..
Ia masih saja menyukainya..
Padahal aku sudah seagresif mungkin..
Berharap kalau dia akan berubah memandangku..
Belajar sekeras mungkin agar ia melihatku..
Tapi...
Kertas ke-8 yang Randy temukan. Siapa gadis
ini sebenarnya? Siapa lelaki dan perempuan dalam kisahnya? Sebegitu berartikah
lelaki itu? Apa perempuan itu istimewa? Pikiran-pikiran Randy dipenuhi dengan
pertanyaan seperti itu tiap kali membacanya.
Dear Diary...
Apa benar mereka sepasang kekasih??
Tapi gadis itu bilang bukan..
Mereka hanya sahabat.. Tak lebih..
Tapi kenapa ia selalu bilang kalau gadis
itu kekasihnya??
Mematahkan harapanku kah??
Kenapa Diary?? Kenapa??
Kertas ke-10 yang Randy temukan. Gadis
pemilik diary ini telah membuat Randy
ikut merasakan kepedihannya. Randy bingung, sebenarnya apa motif gadis ini
menulis diary di selembar kertas lalu membuangnya. Apakah gadis itu
mengharapkan seseorang akan bersimpati padanya? Atau ia ingin melupakan
kenangannya dengan cara seperti ini? Dan kenapa juga Randy harus peduli?
Mungkin rasa penasarannya yang terlalu tinggi mendorongnya untuk melakukan ini.
“Argh!!!” Randy mengacak-acak
rambutnya kesal. Apakah ini hannya sebuah kebetulan ataukah gadis itu memang
sengaja menjatuhkan kertas itu di atas kepala Randy, agar ia membacanya? “Ini sungguh menyebalkan.” Terlalu
banyak pertanyaan yang muncul di kepala Randy. Dan itu membuat Randy semakin
penasaran, siapa sebenarnya pemilik paper
diary itu.
“Randy,
kau kenapa?” Randy terkejut mendengar suara Rara. Ia
segera membalikkan tubuhnya mencari sosok kakaknya. Ternyata Rara sedang duduk
bersila di ujung kasurnya seraya membaca buku komik miliknya. Ia kemudian duduk
disamping kakaknya dan menyandarkan kepalanya di bahu Rara. “Kau akhir-akhir ini sering sekali murung.
Lebih banyak di kamar dan membaca kertas lusuh itu. Kau merindukan ibu atau ada
masalah?” Rara meletakkan komik yang ia pura-pura baca tadi. Randy sedikit
mendongak untuk melihat raut wajah kakaknya yang selusuh paper diary itu. Rara adalah sosok kakak yang perhatian. Meski
terkadang Rara suka melampiaskan amarahnya pada Randy, tapi ia sangat
menyayangi Randy. “Aku hanya merindukan
ibu. Sungguh” Dusta Randy. Rara hanya memandang Randy dengan raut wajah tak
percaya. Tapi ia tak juga bertanya lebih jauh pada Randy. Karena ia tahu kalau
adiknya itu tidak akan suka jika ia mencampuri urusan pribadinya. “Kak, ayo buat makan malam. Aku lapar,”
rajuk Randy manja. Rara pun segera bangkit dan berjalan menuju dapur. Kali ini
Randy bisa menghindari kakaknya.
Hari kesekian sejak lembaran demi lembaran
berjatuhan di ujung kepala Randy. Kali ini ia memiliki strategi baru. Ia akan
pergi ke lantai dua—tempat dimana gadis pemilik paper diary itu melemparkan kertasnya— sebelum paper diary itu meluncur ke kepalanya. Menunggu hingga penghuni
kelas tak ada lagi. Iya yakin kali ini rencananya berhasil karena kakaknya ada
jadwal di club photography-nya. Jadi
Randy tak perlu mengikuti kakaknya pulang seperti sebelumnya. Saat bel sekolah
berdering, Randy langsung melancarkan misinya. Ia langsung keluar kelas bahkan
sebelum guru memberi salam. Tak peduli dengan teriakan guru dan teman-teman.
Berlari secepat kilat menuju lantai dua. “Randy,
apa yang kau lakukan disini?” Rara menatap Randy heran. Biasanya Rara-lah
yang menunggu Randy. “Aku ada urusan kak.
Kakak pergilah. Nanti bisa terlambat ke club!” seru Randy seraya melewati
kelas Rara. Rara hanya tersenyum kemudian berkata, “Nanti pulangnya hati-hati ya!” Mendengar pesan kakaknya, Randy
hanya mengangguk kemudian melambaikan tangannya.
Randy sudah seperti security, ia berpatroli di lantai dua. Ada lima kelas di sana, empat
kelas diantaranya telah kosong tak berpenghuni. Randy segera mengecek ruang
kelas Rara. Masih ada tiga orang yang belum meninggalkan ruangan, Satu
laki-laki dan Dua perempuan. ‘Salah satu
dari mereka pasti orangnya,’ pikir Randy.
***
Semua kelas 12 telah kosong, kecuali kelas
12-IPA 1. Ken terlihat sedang merapikan bukunya. Seorang gadis yang duduk tak
jauh darinya menghentikan kegiatan menulisnya, ia menoleh ke arah Ken. ‘Apa
gadis itu menyukai Ken?’ pikir Randy yang sedang mengawasi mereka dari luar
kelas. Ken merupakan salah satu murid berprestasi yang didukung dengan wajah
tampannya, menjadikannya cowok populer di sekolah. Dengan kepopulerannya itu,
banyak cewek yang mengincarnya. Mata Randy beralih ke cewek lainnya yang sedang
berjalan meninggalkan kelas. Sekarang hanya tersisa mereka berdua. ‘Gadis itu pasti orangnya,’ pikir Randy.
“Ken!” Gadis itu beranjak dari tempat
duduknya dan berjalan menghampiri Ken. Ken tak menghiraukan panggilan gadis
itu, ia malah memasang earphonenya di kedua telinganya. Merasa diacuhkan, gadis
itu menarik earphone yang menyumbat telinga Ken. “Ya!”gadis itu berteriak ke telinga Ken. Ken memakai kembali
earphone-nya dan berjalan menjauhi gadis itu. “Ken, mau sampai kapan?” Ucapan gadis itu menghentikan langkah Ken.
Ia berbalik dan menatap tajam gadis dihadapannya. Mata gadis itu mulai basah. “Kau yang mau sampai kapan?” Ken balik
bertanya. Wajah Ken berubah jengkel melihat gadis itu malah menangis. Ken
hendak membalikkan badannya, jika saja tubuh gadis itu tidak merosot ke bawah. “Karin, sudah ku bilang kalau aku menyukai
cewek lain.” Ken berucap lirih seraya meraih lengan gadis yang ia panggil
Karin. Ia membantu Karin duduk di kursi yang berada tak jauh darinya. Menghapus
jejak air mata di pipi gadis itu. Sebenarnya Ken bukanlah orang yang dingin,
justru sebaliknya. “Tapi dia tak
menyukaimu Ken,” ucap Karin yang membuat Ken terdiam. Ken memang sudah tahu
tentang hal itu. Tania tak pernah menyukainya. Hanya menyukai kecerdasannya.
Hanya menganggapnya sebagai teman, tidak lebih. Bahkan ketika Ken menyatakan
perasaannya untuk yang ketiga kalinya, Tania tetap menolaknya. Ken menyandarkan
tubuhnya di sandaran kursi. Sedikit mengingat tentang Tania yang menolaknya berulang
kali. Apa Karin merasakan hal yang sama? Tapi Ken tak ingin membuat gadis
disampingnya semakin berharap. Ken menggeser arah duduknya menjadi berhadapan
dengan Karin. Menatap lekat gadis itu. Ken tersenyum miris, entah untuk Karin
atau dirinya sendiri. Menarik nafasnya panjang, kemudian berkata, “Karin, aku tak pernah melarangmu untuk
mencintaiku. Hanya saja, aku tak bisa membaasnya saat ini. Aku tak mau
memintamu menungguku lalu menghancurkan harapanmu. Jadi lebih baik kau
melupakanku sekarang. Itu akan lebih baik untukmu.” Karin tak bergeming
dari tempatnya duduk, matanya mulai berkaca-kaca lagi. “Aku pergi dulu ya. Berhati-hatilah saat pulang” ucap Ken lagi
sebelum meninggalkan kelas. Karin kembali menulis. Menuangkan semua rasa kesal,
kecewa dan sakit hatinya pada Ken di buku diary
miliknya. Setelah itu ia merobek buku diary-nya meremasnya kuat, seolah sedang
melampiaskan kekesalannya
Dear Diary..
Kembali menolakku.. Demi cewek yang tak
mencintainya?!
Ck.. Aku cewek malang, bukan??
Sudah berapa kali aku menyatakan cinta
padanya??
Sudah berapa kali dia bilang untuk berhenti
mengharapkannya??
Tapi itu sulit untukku!
Apa dia tahu rasanya??
Sangat sakit disini..
Benar-benar berharap jika ia akan
mencintaiku suatu hari nanti..
Randy melirik jam tangannya. Tepat, ini
adalah jam pulangnya. Gadis itu berdiri, memakai tas ranselnya dan berjalan
keluar. “Mau melemparnya lagi?” ucap
Randy tiba-tiba yang membuat Karin terkejut.
“Kau
siapa?”
“Aku
korban lemparan kertasmu itu”
“Ye?”
“Jika
aku berada dibawah saat ini, kau melemparkan kertas padaku untuk yang ke-22
kalinya”
Randy berjalan mendekati Karin. Mengambil
kertas di genggamannya. Dan membacanya sekilas. Tak jauh beda dengan kertas
sebelum-sebelumnya. ‘Masih mengisahkan
tentang Ken. Benar-benar gadis yang malang,’ batin Randy. Karin kembali
menangis. Melihat Karin yang begitu rapuh, Randy merasa bersimpati padanya.
Randy meraih tubuh mungil Karin lalu memeluknya dan mengusap punggungnya pelan.
“Sudahlah, jangan menangis. Masih banyak
lelaki lain yang lebih baik darinya,” ucap Randy menenangkan. Randy
menghapus air mata Karin, “Jika kau butuh
teman bicara, kau bisa menemuiku dan menceritakan semuanya padaku.” Entah
mengapa kata-kata itu keluar dari mulut Randy. Kemudian ia menggenggam tangan
Karin dan mengantarnya pulang. Karin tak menolak ajakan Randy. Randy tak tahu
kenapa ia bertindak seperti itu. Ada perasaan dalam dirinya yang ingin
melindungi Karin. Mungkin karena Karin sama rapuhnya dengan Rara, kakaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar