Selasa, 26 November 2013

Paper Diary




Gumpalan kertas mendarat mulus di kepala Randy. Kemudian jatuh di dekat kakinya. Ia menengadah, mencari siapa yang membuang kertas sembarangan hingga mengenai kepalanya. Bocah lelaki itu melihat seorang gadis berambut panjang yang sedang berbalik lalu pergi begitu saja. Matanya kembali tertuju pada gumpalan kertas di depan kakinya. Kemudian ia meraih dan mengamati benda tersebut. “Mengapa tidak membuangnya di tempat sampah saja? Apa ada sesuatu di dalamnya?” Dengan rasa penasaran, ia membuka gumpalan kertas itu. Belum sempat ia membaca tulisan di dalamnya, sang kakak sudah memanggilnya. Segera ia lipat kertas lusuh itu dan memasukkannya ke dalam saku celananya.



Ia sudah berada di kamarnya sejak 30 menit yang lalu. Enggan mengganti seragamnya. Sudah terlanjur nyaman dengan posisi tidurnya seraya menyumbat telinganya dengan earphone, hingga teriakan kakaknya pun tak dihiraukan. “Randy kau harus makan. Jika kau sakit, aku yang dimarahi ibu.” Seminggu yang lalu, ibunya pergi ke Bandung karena ada urusan pekerjaan. Randy tak bisa meninggalkan sekolahnya, begitu pula dengan kakaknya. Jadi ibunya, meninggalkan 2 orang anaknya itu dan membiarkan mereka hidup mandiri selama sebulan kedepan. “Ya! Randy! Cepat buka pintunya!” Teriakan kakaknya itu terlalu keras, hingga membuat Randy terlonjak dari tempat tidurnya. Dengan malas, ia berjalan ke arah pintu dan memutar kuncinya. Ketika pintu terbuka, Randy terkekeh melihat raut wajah kakaknya yang kesal. Rara mendengus kesal lalu menyodorkan sejumlah uang pada Randy. “Kalau kau tak mau makan masakanku, ini belilah makanan.” Seketika itu, Randy menyadari wajah pucat kakaknya. “Kak, apa kau sakit?” Randy menyentuh kening Rara, memastikan apa benar kakaknya itu sakit. Tapi Rara menepis tangan Randy. “Sudahlah, cepat ganti bajumu,” ujar sang kakak yang kemudian berbalik dan pergi.

Kakak dan adik itu kini telah berada di meja makan dan menyantap makanan mereka masing-masing. “Oh ya, tadi aku menemukan ini di saku celanamu.” Rara menyodorkan sebuah kertas lusuh. Randy segera meraihnya, memasukkannya ke dalam saku kemeja dan kembali fokus pada makanannya. Setelah menyelesaikan makan malamnya, Randy kembali masuk kamarnya. Ia merebahkan dirinya di kasur empuk miliknya. “Ah iya, kertas lusuh itu.” Randy segera bangkit dari posisi tidurnya. Ia merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan kertas lusuh itu. “Sebenarnya apa isinya?” Untuk yang kedua kalinya, dengan rasa penasaran, ia membuka lipatan kertas lusuh itu.


Dear Diary...
Aku menyukainya...
Sangat.. Bahkan aku tak tahu batasannya..
Tiap kali melihatnya bersama gadis itu hatiku sakit..
Kenapa ia hanya mau berdekatan dengannya??
Kenapa ia membatasi pertemanan kami??


“Diary?!” Randy terkekeh. “Kekanakan. Siapa orang yang menulis hal konyol ini pada selembar kertas? Jika hanya untuk dibuang, bukankah lebih baik dipendam saja. Bodoh,” gumam Randy. Kemudian Randy menaruh kertas itu di meja belajarnya. Membaringkan tubuhnya di tempat tidur dan tenggelam ke dalam alam mimpinya.

Hari berganti, sang surya membangunkan Randy dengan sinar hangatnya. Saat mata Randy terbuka sepenuhnya, ia terkejut melihat Rara yang kini sedang berbaring di sampingnya . Dengan hati-hati ia beranjak dari kasur sempitnya dan berjalan mengambil handuk dan berakhir di kamar mandi. Usai mandi ia pergi ke dapur untuk memasak. Ia tak tega membangunkan Rara yang ternyata benar-benar sakit. Setelah masakan buatannya telah siap, ia membawanya ke kamar. Membangunkan Rara pelan dan menyuapi Rara meski Rara menolaknya. “Wah, ternyata adikku yang satu ini pintar memasa,.” kata Rara seraya mengacak-acak rambut Randy. Sedangkan Randy hanya menanggapinya dengan tertawa kecil. “Kak, apa kau punya teman yang sedikit aneh?” tanya Randy seraya menyuapkan makanan ke mulut kakaknya. “Teman? Kupikir semuanya aneh. Mereka lebih suka belajar. Bahkan saat jam istirahat pun mereka masih berkutat dengan buku disela-sela makannya. Benar-benar tidak menikmati hidup,” terang Rara panjang lebar. Jelas saja semua teman sekelas Rara seperti itu. Kelas Rara adalah kelas unggulan. “Memangnya ada apa?” tanya Rara curiga. ‘Kira-kira siapa ya pemilik kertas lusuh itu?’ Batin Randy. “Hey mengapa kau melamun?” Rara mengibaskan tangannya di depan wajah Randy. Randy pun tersadar dari lamunannya dan kembali menyuapi kakaknya.
  
***

Sudah seminggu ini Randy melewati jalanan yang sama. Dan seminggu itu pula ia terlempar kertas diary entah milik siapa. Beberapa kali ia mengendap mencari tahu siapa yang melakukan hal ini padanya. Tapi tak pernah ia temukan.



Dear Diary..
Ia masih saja menyukainya..
Padahal aku sudah seagresif mungkin..
Berharap kalau dia akan berubah memandangku..
Belajar sekeras mungkin agar ia melihatku..
Tapi...



Kertas ke-8 yang Randy temukan. Siapa gadis ini sebenarnya? Siapa lelaki dan perempuan dalam kisahnya? Sebegitu berartikah lelaki itu? Apa perempuan itu istimewa? Pikiran-pikiran Randy dipenuhi dengan pertanyaan seperti itu tiap kali membacanya.



Dear Diary...
Apa benar mereka sepasang kekasih??
Tapi gadis itu bilang bukan..
Mereka hanya sahabat.. Tak lebih..
Tapi kenapa ia selalu bilang kalau gadis itu kekasihnya??
Mematahkan harapanku kah??
Kenapa Diary?? Kenapa??



Kertas ke-10 yang Randy temukan. Gadis pemilik diary ini telah membuat Randy ikut merasakan kepedihannya. Randy bingung, sebenarnya apa motif gadis ini menulis diary di selembar kertas lalu membuangnya. Apakah gadis itu mengharapkan seseorang akan bersimpati padanya? Atau ia ingin melupakan kenangannya dengan cara seperti ini? Dan kenapa juga Randy harus peduli? Mungkin rasa penasarannya yang terlalu tinggi mendorongnya untuk melakukan ini. “Argh!!!” Randy mengacak-acak rambutnya kesal. Apakah ini hannya sebuah kebetulan ataukah gadis itu memang sengaja menjatuhkan kertas itu di atas kepala Randy, agar ia membacanya? “Ini sungguh menyebalkan.” Terlalu banyak pertanyaan yang muncul di kepala Randy. Dan itu membuat Randy semakin penasaran, siapa sebenarnya pemilik paper diary itu.

“Randy, kau kenapa?” Randy terkejut mendengar suara Rara. Ia segera membalikkan tubuhnya mencari sosok kakaknya. Ternyata Rara sedang duduk bersila di ujung kasurnya seraya membaca buku komik miliknya. Ia kemudian duduk disamping kakaknya dan menyandarkan kepalanya di bahu Rara. “Kau akhir-akhir ini sering sekali murung. Lebih banyak di kamar dan membaca kertas lusuh itu. Kau merindukan ibu atau ada masalah?” Rara meletakkan komik yang ia pura-pura baca tadi. Randy sedikit mendongak untuk melihat raut wajah kakaknya yang selusuh paper diary itu. Rara adalah sosok kakak yang perhatian. Meski terkadang Rara suka melampiaskan amarahnya pada Randy, tapi ia sangat menyayangi Randy. “Aku hanya merindukan ibu. Sungguh” Dusta Randy. Rara hanya memandang Randy dengan raut wajah tak percaya. Tapi ia tak juga bertanya lebih jauh pada Randy. Karena ia tahu kalau adiknya itu tidak akan suka jika ia mencampuri urusan pribadinya. “Kak, ayo buat makan malam. Aku lapar,” rajuk Randy manja. Rara pun segera bangkit dan berjalan menuju dapur. Kali ini Randy bisa menghindari kakaknya.

Hari kesekian sejak lembaran demi lembaran berjatuhan di ujung kepala Randy. Kali ini ia memiliki strategi baru. Ia akan pergi ke lantai dua—tempat dimana gadis pemilik paper diary itu melemparkan kertasnya— sebelum paper diary itu meluncur ke kepalanya. Menunggu hingga penghuni kelas tak ada lagi. Iya yakin kali ini rencananya berhasil karena kakaknya ada jadwal di club photography-nya. Jadi Randy tak perlu mengikuti kakaknya pulang seperti sebelumnya. Saat bel sekolah berdering, Randy langsung melancarkan misinya. Ia langsung keluar kelas bahkan sebelum guru memberi salam. Tak peduli dengan teriakan guru dan teman-teman. Berlari secepat kilat menuju lantai dua. “Randy, apa yang kau lakukan disini?” Rara menatap Randy heran. Biasanya Rara-lah yang menunggu Randy. “Aku ada urusan kak. Kakak pergilah. Nanti bisa terlambat ke club!” seru Randy seraya melewati kelas Rara. Rara hanya tersenyum kemudian berkata, “Nanti pulangnya hati-hati ya!” Mendengar pesan kakaknya, Randy hanya mengangguk kemudian melambaikan tangannya.

Randy sudah seperti security, ia berpatroli di lantai dua. Ada lima kelas di sana, empat kelas diantaranya telah kosong tak berpenghuni. Randy segera mengecek ruang kelas Rara. Masih ada tiga orang yang belum meninggalkan ruangan, Satu laki-laki dan Dua perempuan. ‘Salah satu dari mereka pasti orangnya,’ pikir Randy.

*** 

Semua kelas 12 telah kosong, kecuali kelas 12-IPA 1. Ken terlihat sedang merapikan bukunya. Seorang gadis yang duduk tak jauh darinya menghentikan kegiatan menulisnya, ia menoleh ke arah Ken. ‘Apa gadis itu menyukai Ken?’ pikir Randy yang sedang mengawasi mereka dari luar kelas. Ken merupakan salah satu murid berprestasi yang didukung dengan wajah tampannya, menjadikannya cowok populer di sekolah. Dengan kepopulerannya itu, banyak cewek yang mengincarnya. Mata Randy beralih ke cewek lainnya yang sedang berjalan meninggalkan kelas. Sekarang hanya tersisa mereka berdua. ‘Gadis itu pasti orangnya,’ pikir Randy. “Ken!” Gadis itu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri Ken. Ken tak menghiraukan panggilan gadis itu, ia malah memasang earphonenya di kedua telinganya. Merasa diacuhkan, gadis itu menarik earphone yang menyumbat telinga Ken. “Ya!”gadis itu berteriak ke telinga Ken. Ken memakai kembali earphone-nya dan berjalan menjauhi gadis itu. “Ken, mau sampai kapan?” Ucapan gadis itu menghentikan langkah Ken. Ia berbalik dan menatap tajam gadis dihadapannya. Mata gadis itu mulai basah. “Kau yang mau sampai kapan?” Ken balik bertanya. Wajah Ken berubah jengkel melihat gadis itu malah menangis. Ken hendak membalikkan badannya, jika saja tubuh gadis itu tidak merosot ke bawah. “Karin, sudah ku bilang kalau aku menyukai cewek lain.” Ken berucap lirih seraya meraih lengan gadis yang ia panggil Karin. Ia membantu Karin duduk di kursi yang berada tak jauh darinya. Menghapus jejak air mata di pipi gadis itu. Sebenarnya Ken bukanlah orang yang dingin, justru sebaliknya. “Tapi dia tak menyukaimu Ken,” ucap Karin yang membuat Ken terdiam. Ken memang sudah tahu tentang hal itu. Tania tak pernah menyukainya. Hanya menyukai kecerdasannya. Hanya menganggapnya sebagai teman, tidak lebih. Bahkan ketika Ken menyatakan perasaannya untuk yang ketiga kalinya, Tania tetap menolaknya. Ken menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Sedikit mengingat tentang Tania yang menolaknya berulang kali. Apa Karin merasakan hal yang sama? Tapi Ken tak ingin membuat gadis disampingnya semakin berharap. Ken menggeser arah duduknya menjadi berhadapan dengan Karin. Menatap lekat gadis itu. Ken tersenyum miris, entah untuk Karin atau dirinya sendiri. Menarik nafasnya panjang, kemudian berkata, “Karin, aku tak pernah melarangmu untuk mencintaiku. Hanya saja, aku tak bisa membaasnya saat ini. Aku tak mau memintamu menungguku lalu menghancurkan harapanmu. Jadi lebih baik kau melupakanku sekarang. Itu akan lebih baik untukmu.” Karin tak bergeming dari tempatnya duduk, matanya mulai berkaca-kaca lagi. “Aku pergi dulu ya. Berhati-hatilah saat pulang” ucap Ken lagi sebelum meninggalkan kelas. Karin kembali menulis. Menuangkan semua rasa kesal, kecewa dan sakit hatinya pada Ken di buku diary miliknya. Setelah itu ia merobek buku diary-nya meremasnya kuat, seolah sedang melampiaskan kekesalannya




Dear Diary..
Kembali menolakku.. Demi cewek yang tak mencintainya?!
Ck.. Aku cewek malang, bukan??
Sudah berapa kali aku menyatakan cinta padanya??
Sudah berapa kali dia bilang untuk berhenti mengharapkannya??
Tapi itu sulit untukku!
Apa dia tahu rasanya??
Sangat sakit disini..
Benar-benar berharap jika ia akan mencintaiku suatu hari nanti..


Randy melirik jam tangannya. Tepat, ini adalah jam pulangnya. Gadis itu berdiri, memakai tas ranselnya dan berjalan keluar. “Mau melemparnya lagi?” ucap Randy tiba-tiba yang membuat Karin terkejut.
“Kau siapa?”
“Aku korban lemparan kertasmu itu”
“Ye?”
“Jika aku berada dibawah saat ini, kau melemparkan kertas padaku untuk yang ke-22 kalinya”
Randy berjalan mendekati Karin. Mengambil kertas di genggamannya. Dan membacanya sekilas. Tak jauh beda dengan kertas sebelum-sebelumnya. ‘Masih mengisahkan tentang Ken. Benar-benar gadis yang malang,’ batin Randy. Karin kembali menangis. Melihat Karin yang begitu rapuh, Randy merasa bersimpati padanya. Randy meraih tubuh mungil Karin lalu memeluknya dan mengusap punggungnya pelan. “Sudahlah, jangan menangis. Masih banyak lelaki lain yang lebih baik darinya,” ucap Randy menenangkan. Randy menghapus air mata Karin, “Jika kau butuh teman bicara, kau bisa menemuiku dan menceritakan semuanya padaku.” Entah mengapa kata-kata itu keluar dari mulut Randy. Kemudian ia menggenggam tangan Karin dan mengantarnya pulang. Karin tak menolak ajakan Randy. Randy tak tahu kenapa ia bertindak seperti itu. Ada perasaan dalam dirinya yang ingin melindungi Karin. Mungkin karena Karin sama rapuhnya dengan Rara, kakaknya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar