Namaku Alfitri Muntiara Suci. Lahir di Trenggalek,
15 Januari 1999. Aku punya seorang adik laki-laki dan orang tua tentunya. Tapi
kini aku dan adikku telah menjadi anak yatim. Aku akan bercerita tentang
keluarga kecilku ini.
Pertama aku akan bercerita tentang Alm. ayah yang
sangat aku sayangi. Ayah meninggalkan kami saat aku masih menduduki bangku
kelas 6 Sekolah Dasar. Dan tepat 2 hari setelahnya, adikku genap berumur 3
tahun. Kematian ayah yang tiba-tiba itu membuat kami sekeluarga shock. Tidak ada tanda-tanda yang aneh.
Semua berjalan seperti biasanya.
Terkadang aku berfikir, apakah kematian ayah karena
diriku? Aku berfikir seperti itu, karena suatu hari, aku pernah berdo’a pada
Allah. “Ya Allah mengapa ayah selalu bersikap kasar padaku? Aku tahu aku salah,
tapi apa harus seperti ini? Tidakkah itu berlebihan?” Dan beberapa hari setelah
itu, ayah meninggalkan kami. Meninggalkan anak bungsunya yang masih sangat
belia. Meninggalkan semuanya. Dan benar-benar sudah tak ada lagi yang
memarahiku, mengomeliku, ataupun memukulku.
Mengingat hal itu, aku merasa sangat bersalah. Aku
benar-benar menyesal telah melakukannya. Kini aku merindukannya. Merindukan
suaranya saat meneriakiku, dengkurannya saat tidur, dan juga sentuhannya. Aku
baru sadar betapa berharganya ayah saat aku sudah kehilangannya. Walaupun ayah
bersikap keras terhadapku, tapi aku sadar kalau itu semua untuk kebaikanku.
Tidak ada induk harimau yang tega memakan anaknya sendiri kan. Dibalik semua
sikap keras ayah, aku tahu jauh dilubuk hatinya, ayah sangat menyayangiku.
Tapi apa yang telah kulakukan? Tak pernah sekalipun
aku membuatnya bangga. Selama hidupnya, aku selalu membuatnya menderita. Jika
waktu dapat kuputar kembali, aku akan memperbaiki semuanya. Tapi aku tahu itu
semua mustahil.
Dan kini, yang bisa kulakukan hanyalah memohon agar ayah mendapatkan ketenangan
di alam kubur.
Kini ayah telah tiada, dan semua tanggung jawabnya
menjadi tanngung jawab ibu. Ibu adalah orang yang paling tertekan dan menderita
dalam hal ini. Tapi untunglah ibu masih kuat menjalaninya. Kuakui apa yang ibu
jalani sekarang sangatlah berat. Terlebih, ibu hanya bekerja sebagai karyawan
swasta. Upahnya dalam sebulan belum tentu bisa memenuhi semua kebutuhan hidup
kami. Dan lagi, ibu harus bekerja dari pagi hingga malam. Terkadang, ibu masih
harus masuk kerja walau di hari libur sekalipun, hanya untuk mendapat uang
tambahan. Ibu benar-benar bekerja keras untuk kami. Belum lagi adik yang kini
sudah bersekolah. Ibu memilih untuk menyekolahkannya di sebuah sekolah, dimana
sekolah tersebut juga menyediakan jasa penitipan anak. Letak sekolah tersebut
lumayan jauh dari rumah, tapi ibu memutuskan untuk mengantar-jemputnya sendiri.
Bisa kubayangkan bagaimana lelahnya ibu saat sampai di rumah.
Karena ia lelah, suasana hatinya buruk, dan itu yang
menjadi penyebab mengapa ibu mudah sekali marah. Tak jarang ibu mengomeliku,
membuatku kesal hingga kehilangan nafsu makanku. Tapi, ibu tak pernah memukulku¾kecuali
jika ia benar-benar marah.¾
Ia lebih memilih mengomeliku hingga mulutnya berbusa daripada harus memukuliku.
Pernah suatu hari, tanpa disengaja aku telah berbuat kesalahan¾entah
apa itu, aku juga tak tahu hingga sekarang.¾
Hal pertama yang ibu lakukan yaitu mengomeliku seperti sebelum-sebelumnya. Lalu
kufikir semua sudah berakhir. Setelah ibu mengomeliku, ia akan kembali normal,
seperti hal itu tak pernah terjadi. Tapi ternyata tidak. Ibu memang tidak
mengomeliku atau melakukan apapun yang membuatku kesal. Tapi ia terus
mendiamiku selama tiga hari. Dan itu membuatku tersiksa. Aku merasa
serba-salah. Dan aku benci dengan kondisi seperti itu.
Jika ibu marah, aku harus menjadi air agar bisa
mendinginkannya. Aku jadi ingat saat ibu berkata, “Meminta maaflah terlebih
dahulu, sebelum mengakui kesalahanmu. Dengan begitu, ibu tidak akan semarah
itu.” Ibu benar. Semua yang dikatakan ibu benar. Dan ibu marah bukan tanpa
alasan. Ia pasti memiliki alasan tertentu. Mungkin itu adalah salah satu cara
ibu mendidikku, agar aku sadar bahwa yang aku lakukan salah. Atau bisa jadi
karena tamu bulanannya. Atau karena ia terlalu lelah. Jadi, aku juga harus bisa
mengerti ibu. Kau tak bisa meminta orang lain untuk terus mengertimu, sementara
kau tak mau mengerti orang lain.
Aku salut pada ibu. Ketegaran hatinya, dan semua
kerja kerasnya. Ibu adalah sosok yang luar biasa dimataku. Aku menyebutnya
‘Wanita Perkasa’. Ibu melakukan semua perkerjaan yang bisa ia lakukan sendiri.
Ibu pernah bilang padaku. “Jadi perempuan itu harus serbabisa, jangan
mengandalkan laki-laki.” Aku ingin menjadi wanita perkasa seperti ibu.
Sekarang tentang adik kecilku. Ia bernama Cahya
Ihsanandra Sahputra. Panggil saja ia Nandra. Aku dan adik kecilku ini berbeda
sembilan tahun. Saat ia kecil, aku gemas sekali padanya. Kepalanya yang bulat
dan pipinya yang seperti bakpao. Aku masih ingat saat ia berfoto memakai kacamata
hitam kotak dengan frame kuning yang
senada dengan pakaiannya. Ia benar-benar terlihat seperti Boboho. Masih
kusimpan foto itu.
Dulu, saat masih ada ayah, setiap pagi adik akan
diajak ayah berjalan-jalan. Dan sore harinya, saat ayah pulang kerja, ayah akan
mengajaknya berkeliling atau melihat kereta yang biasanya lewat di dekat RSAL.
Tapi itu dulu. Sekarang, adik sudah tumbuh menjadi bocah lelaki yang pintar.
Ya, adikku itu lebih pintar dari aku. Saat aku masih seumuran dengannya dulu,
aku belum bisa menaiki sepeda roda dua dan membaca. Tapi adikku sudah bisa melakukannya.
Ia juga aktif dan punya banyak teman. Sayangnya, ayah tidak bisa melihatnya.
Sejujurnya aku tidak begitu rukun dengan adik
kecilku itu. Terkadang adikku yang satu itu memang bertingkah menyebalkan.
Menyembunyikan alat tulisku, menggangguku saat belajar, dan bertindak semaunya
sendiri. Seperti yang ia lakukan padaku, aku pun sama. Terkadang aku juga
memulai pertengkaran kecil itu dengannya. Walau terkadang aku membencinya dan
suka bertindak kasar padanya, tapi itu tidaklah mengubah kenyataan bahwa aku
adalah kakaknya, dan dia adalah adikku. Itu sudah menjadi takdir. Dan aku harus
menerimanya. Sekuat apapun aku membencinya, tidak akan bisa mengubur ikatan
batin diantara kita.
Pernah suatu hari, saat aku pulang ke rumah, aku
tidak melihat seorangpun di sana. Aku sendirian. Sampai terdengar suara motor
yang begitu familiar berhenti tepat di depan rumah. Sontak aku langsung membuka
pintu dan ingin sekali bertanya, “Kemana semua orang?” Belum sempat aku
bersuara, ayah sudah lebih dulu menarikku untuk naik ke atas motornya. Aku
hanya menurut saja. Sampai motor itu memasuki area rumah sakit. Aku
bertanya-tanya dalam hati, “Sebenarnya siapa yang sakit.” Seakan bisa membaca
fikiranku, ayah berkata, “Adikmu dirawat di rumah sakit. Tadi pagi badannya
panas sekali.” Tepat saat itu juga, mataku menangkap sosok ibu yang berjalan ke
arahku. Aku segera memeluk ibu dan bertanya tentang keadaan adik. Sesampainya
di ruang rawat adik, aku sangat prihatin dan khawatir melihat kondisinya.
Seorang anak berumur 1,5 tahun berbaring lemas di ranjang rumah sakit dengan
selang infus yang terpasang di tangannya. Wajahnya yang pucat, bibirnya yang
merah serta pecah-pecah dan mata sayunya. Itu terlihat seperti bukan adikku.
Adikku yang kukenal adalah orang yang aktif dan ceria walau sedikit usil. Dari
situ aku mulai menyadari bahwa aku menyayanginya. Sangat menyayanginya. Dan
ingin sekali melindunginya. Dan betapa bahagianya aku setelah mendengar tawanya
saat baru keluar dari rumah sakit. Saat ia besar nanti, aku ingin sekali
belajar bersama dengannya, di meja belajar yang sama. Membantunya mengerjakan
PRnya. Saling bertukar cerita. Mengajarinya banyak hal, dan melakukan banyak
hal bersama. Walau aku tak yakin dengan semua keinginanku itu. Karena, sampai
detik ini aku tak bisa berhenti bertengkar dengan adikku. Itu sudah seperti
kebiasaan bagi kami. Tak ada hari tanpa bertengkar. Tapi, seperti kata Om Mario
Teguh, bahwa setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menunjukkan rasa
cintanya¾dalam
hal ini, cinta seorang kakak terhadap adiknya, begitu pula sebaliknya.¾
Hidup ini memberiku banyak pelajaran. Dan melalui
keluarga kecilku ini aku mendapatkan banyak pelajaran berharga. Dan perlu
kalian ingat! Bunga akan mekar, jika ia mendapat guncangan. Guncangan itu yang
membuat batangnya tegak. Semakin banyak cobaan yang kau dapat, maka kau akan
semakin kuat dan tangguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar